Untuk Apa

    Mentari pagi memang selalu indah, anginnya yang sealu berhembusan membawsa kesegaran baru, cahayanya yang terang seolah memberi pencerahan untuk mereka yang kehilangan harapan. Awal hidupku ku mulai dari sini, kehidupan monoton yang hanya ku alami saat menjalani profesi sebagai mahasiswa yang tidak mengerti apa maksud dari sebuah perjuangan, apa yang menjadi tujuan nanti dan apa yang menjadi keinginanku nanti setelah lulus. Berhari-hari yang kualami hanyalah mendengar cerita orang yang lebih berpengalaman dan aku hanya menjadi pendengar setia yang tak memiliki pengalaman apa pun. Setiap waktu di hari-hariku hanya kubuat untuk mencari kebahagiaanku sendiri tanpa tau bagaimana membuat kebahagiaan untuk orang lain. Sampai aku bertemu dengan seseorang yang sebenarnya hampir bukan orang karena sifatnya yang selalu berlebihan dan tingkahnya yang sembarangan. Melihatnya seperti itu selalu membuatku merasa risih, ringkahnya yang selalu mengganggu , ceritanya yang selalu membingungkan dan wajahnya yang selalu membuatku berpaling. Entah kelamaan bila bersamanya aku hanya akan menjadi orang bodoh sedunia kampus. Tapi waktu berkata lain, saat ini dialah yang menjadi orang kedua yang ingin aku bahaiakan, bukan karena dia adalh pasanganku atau apalah yang berhubungan dengan itu, tapi aku merasa bisa menjadi lebih baik bila bersamanya. Meski selama ini yang aku tau hanyalah bagaimana aku bisa bahagia berkat dia, tapi aku tau bagaimana rasa kepuasannya bilah membahagiakan orang lain. Memang pada dasaranya aku adalah orang berengsek seperti kata dosen yang dianggap killer "Semakin tua orang itu bukannya semakin sadar, tetapi malah semakin berengsek" begitu kata-kata dosen tadi yang selalu terngiang-iang dikepalaku. Dia pun selalu melalkukan yang paling aku gak suka yaitu mencubitku, hal yang paling aku benci , hal yang paling aku gak pernah bersahabat dengan kata itu. Entah bagaimana perasaanku saat ini yang sedang dicampur aduk oleh pilihan dan kata-kata juga masa laluku, aku hanya merasa dia adalah yang terbaik dan harus mendapat yang terbaik juga seperti masalalunya. Seberat  apa pun aku brefikir mungkin aku hanyalah sebagai hiburan kosong yang tiba-tiba ada menemaninya dan selalu ada bersamanya, tapi meski begitu yang aku rassa lebih dari sebagai tempat menyanggah hati yang sedang layu tapi aku merasa sebagai pemimpin yang harus memimpin dia sampai dia menjadi lebih baik tidak seperti aku. Itulah mengapa sampai saat ini aku hanya mengungkapkan perasaanku tanpa peduli bagaimana perasaanya, karena yang aku inginkan hanyalah dia  menjadi lebih baik dan bahagia dengan orang yang pernah membahagiakannya.